JAKARTA, harianbekasi.com – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ternyata merupakan penanggungjawab Pembangunan Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) di Jawa Tengah tahun 2013. Menteri BUMN kala itu dijabat Dahlan Iskan.
Hal tersebut tertuang dalam surat Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Nomor B-085/UKP-PPP/02/2013 Tanggal 28 Februari 2013 Perihal Pemantauan Pelaksanaan Rencana Aksi Prioritas Nasional 2013.
“Surat UKP4 itu ditujukan antara lain ke Menteri BUMN dan Direktur Utama PT Pertamina. Jelas di dalam surat ini disebutkan penanggungjawab adalah Kementerian BUMN dengan salah satu ukuran keberhasilannya adalah penandatangan sales purchase agreement (SPA) Liquified Natural Gas (LNG),” ungkap Sekretaris Eksekutif CERI, Hengki Seprihadi, Sabtu (16/9/2023) di Pekanbaru.
Sebelum terbitnya surat UKP4 tersebut, lanjut Hengki, ternyata Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan melalui surat nomor S-460/MBU/2012 tanggal 23 Agustus 2012 Perihal Pelaksanaan Proyek FSRU Jawa Tengah kepada Kepala UKP4, dengan tegas menyatakan bahwa proyek pembangunan FSRU Jawa Tengah oleh PT Pertamina (Persero) dilanjutkan kembali. Surat tersebut pun ditembuskan Dahlan Iskan kepada Direktur Utama PT Pertamina (Persero).
Dalam suratnya itu, Dahlan Iskan menyatakan, “Menunjuk surat kami kepada Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) No. S-140/MBU/2012 tanggal 19 Maret 2012 tentang Relokasi Proyek Terminal FSRU Belawan dan Proyek Revitalisasi Terminal LNG Arun dan sesuai dengan hasil keputusan rapat di Kantor Wakil Presiden RI pada tanggal 2 Agustus 2012, dengan ini kami sampaikan bahwa dalam rapat tersebut telah diputuskan bahwa Proyek Pembangunan Terminal FSRU Jawa Tengah oleh PT Pertamina (Persero) dilanjutkan kembali.”
“Temuan-temuan CERI ini tentunya membuat janggal keterangan Dahlan Iskan usai diperiksa KPK sebagai saksi bahwa dia menyatakan kepada KPK bahwa dia tidak tahu tentang pembelian gas alam cair Pertamina,” ungkap Hengki.
Lebih lanjut Hengki menguraikan, meski surat Menteri Negara BUMN itu menegaskan dilanjutkannya proyek FSRU Jawa Tengah, namun anehnya, belakangan terungkap ternyata alokasi LNG tidak diberikan kepada Pertamina dan PLN malah membeli gas dari lapangan Kepodang.
Sementara itu, lanjut Hengki, terkait penyidikan KPK pada kasus dugaan korupsi pengadaan LNG di PT Pertamina Tahun 2011-2014, Pertamina pernah menyurati Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) melalui surat nomor 202/G30300/2022-S0 tanggal 25 November 2022 yang ditandatangani oleh VP LNG PT Pertamina (Persero) Achmad Khoiruddin perihal permintaan penjelasan harga kontrak penjualan.
“Kami memperoleh keterangan, surat Pertamina itu sesuai permintaan KPK. CCL pun lantas sudah menjawab bahwa harga penjualan LNG dalam SPA dengan Pertamina telah mencerminkan harga pasar kontrak LNG jangka panjang yang ditandangani di periode 2013 sampai dengan 2015. Di masa itu CCL juga menandatangani beberapa kontrak LNG FOB dengan pihak lain dengan harga yang sama dengan harga kepada Pertamina,” beber Hengki.
Bahkan, CCL juga dalam surat balasan atas surat Pertamina itu, yang menyatakan semua kontrak tersebut dicantumkan dalam situs Securities and Exchange Commision (SEC) di Amerika Serikat yang terbuka untuk umum, dimana X0 sama sebesar $3,5, sementara ada perbedaan kecil di perhitungan Xy.
“Dalam surat yang sama, CCL juga menjelaskan bahwa rujukan surat mereka adalah dua SPA dengan Pertamina yang sebelumnya telah ditandangani pada tahun 2013 dan 2014 dan digantikan dengan satu SPA tunggal yang ditandatangani kemudian pada tahun 2015,” beber Hengki.
Belum Ada Tersangka
Pernyataan Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan usai diperiksa KPK pada 14 September 2023 yang menyatakan Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan sebagai tersangka, menurut Hengki tidak pantas dan janggal diungkapkan oleh seorang terperiksa sebagai saksi di KPK.
“Ini memang tidak lazim. Biasanya kan KPK yang mengumumkan siapa tersangka. Ada apa sebenarnya di balik pernyataan Dahlan Iskan ini?,” tanya Hengki.
Hengki mengatakan, sebagaimana dilansir Liputan6 edisi 15 September 2023, Ketua KPK Firli Bahuri pada Juni 2022 mengumumkan pihaknya sedang menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan LNG di PT Pertamina Tahun 2011-2014.
Sejumlah pihak juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara tersebut, namun sampai saat ini KPK belum mengumumkan nama tersangka maupun melakukan penahanan terhadap pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tidak Ditemukan Tipikor
Sementara itu, mengenai pusaran kasus yang tengah disidik KPK tersebut, menurut keterangan berhasil dihimpun CERI, kata Hengki, berawal dari Direksi Pertamina menandatangani kontrak jual beli LNG Mozambique dengan Anadarko, yang sekarang bernama Total Energi.
“Pada November 2019, Basuki Tjahaja Purnama atau dikenal Ahok dilantik jadi Komut Pertamina. Ahok langsung menyatakan tidak setuju pembelian LNG Mozambique. Ia kemudian memerintahkan Komite Audit untuk melakukan audit pembelian LNG tersebut,” beber Hengki.
Lantas, lanjut Hengki, Komite Audit membahas perintah Ahok tersebut dengan Internal Auditor.
“Selanjutnya ditunjuk firma akuntansi terbesar di dunia Price Waterhouse Coopers (PWC) untuk audit investigasi dengan bayaran Rp 3 milyar. Ruang lingkup audit bukan saja proses negosiasi kontrak jual beli LNG Mozambique, tetapi juga pengadaan kontrak LNG lainnya, yaitu LNG Amerika Serikat, Woodside, demikian juga pembelian domestik yang meliputi LNG dari Bontang, Muara Bakau dan Ganal Rapak,” beber Hengki.
Menurut bocoran laporan final hasil investigasi pada bulan Desember 2020 itu, kata Hengki, menyatakan tidak ditemukan tindak pidana korupsi ataupun gratifikasi, namun PWC menyatakan beberapa hal memerlukan pendalaman.
“Ijin komisaris dan pemegang saham menjadi isu bahan temuan audit, karena perbedaan interpretasi Anggaran Dasar Pertamina. Ini menjadi isu sebab staf LNG yang diperiksa waktu itu tidak mampu menunjukkan memo legal yang menyatakan bahwa Direksi tidak memerlukan ijin baik dari Dewan Komisaris ataupun Pemegang Saham. Belakangan memo tersebut akhirnya ditemukan, namun isu pengadaan LNG ini sudah bergulir ke aparat penegak hukum,” beber Hengki.
Lebih lanjut, kata Hengki, CERI memperoleh keterangan, sekitar Februari 2021, salah satu direksi Pertamina membawa dokumen audit PWC dan Internal Audit ke Kejagung dan KPK. Akibatnya kedua lembaga aparat penegak hukum ini menerbitkan Sprinlidik.
“Kejagung tidak menemukan perbuatan melawan hukum dalam pengadaan LNG tersebut dan oleh karena itu mempersilakan KPK untuk melanjutkan Sprinlidik mereka. KPK seperti ramai diberitakan melanjutkan penyelidikan itu menjadi penyidikan, meski tidak bersedia menyebutkan tersangkanya,” kata Hengki.
Malah, lanjut Hengki, objek penyidikan juga bukan lagi pengadaan LNG 5 kontrak penjualan tersebut di atas, namun hanya meliputi kontrak pembelian LNG dari Amerika Serikat saja.
“Berdasar bisik bisik di internal Pertamina, pergeseran objek penyidikan ini mengundang pertanyaan yang belum bisa dijawab sampai dengan saat ini. Namun hal ini sebentar lagi pasti akan terkuak motifnya,” beber Hengki.
Pembelian Menguntungkan
Lebih lanjut, Hengki menguraikan temuan CERI agak mengejutkan, ternyata meski tidak bisa dikatakan sebagai kerugian negara, lantaran Pertamina rugi di awal kontrak LNG dari Amerika Serikat itu berjalan. Ini disebabkan pandemi Covid yang melanda dunia.
“Harga LNG turun hingga hanya sekitar 2.5 US$/MMBTU. Harga minyak dalam perdagangan dunia bahkan dijual minus 7 US$/Bbl. Pada saat inilah, yaitu kurun waktu tahun 2019 hingga 2021, selama 3 tahun, Pertamina merugi hingga US$106.7 juta. Namun seiring dengan surutnya pandemi Covid dan normalisasi harga LNG dunia, Pertamina cukup cerdik dengan menangguk untung sebesar US$212.54 juta selama kurun waktu 2022, 2023, dan prognosa 2024 dan 2025. Dengan demikian akumulasi keuntungan Pertamina dari tahun 2018 hingga 2025 adalah sebesar US$107,38 juta atau sekitar Rp1,6 Triliun,” ungkap Hengki.
Adapun rincian untung rugi pembelian LNG dari Amerika Serikat ini menurut temuan CERI adalah 2019 surplus US$2,14 juta, 2020 minus US$92,63 juta, 2021 minus US$14,67 juta, 2022 surplus US$6,01 juta, 2023 surplus US$191,45 juta, 2024 surplus US$7,95 juta dan 2025 surplus US$7,13 juta.
“Manajemen Pertamina yang awalnya nervous dengan kerugian Pertamina di tahun 2020 dan 2021, namun sekarang mereka tersenyum puas dengan keuntungan yang diraih selama dua tahun terakhir ini dan masih tersenyum hingga dua tahun lagi sampai dengan tahun 2025. Bahkan mereka sekarang juga bisa berharap hingga kontrak pembelian LNG Amerika Serikat ini berakhir pada tahun 2040 nanti, Pertamina akan menerima keuntungan trilyunan Rupiah. Infonya Dirut Pertamina Nicke Widyawati pernah nyeletuk dalam rapat direksi, sungguh ini rejeki anak soleh,” beber Hengki.(*)