harianbekasi.com – Perlu diingatkan jangan sampai Dewan Pers Malah Seperti Departemen Penerangan Era Orde Baru.
Kalau soal ulang tahun HPN 2023, seperti biasa, meriah.
Tapi sejatinya, bukan soal Presiden hadir atau tidak di acara itu. Jangan sampai, usai pesta, situasinya tak berubah.
Media massa di era digital masih seringkali oleh Dewan Pers membuat aturan yang mirip era jaman Orde Baru.
Bukannya Proaktif, Verifikasi Media Digital atau media cetak yang ada. Tapi, malah aturan yang membuat pers kapitalis, dengan aturan ini dan itu.
Media yang berintegritas tak masuk dalam verifikasi actual dan factual, karena tak punya modal.
Sementara itu, media massa harus bersaing memperebutkan kue iklan yang “lari” ke media sosial, blogger dan Youtuber
Jurnalisme, media dan tren teknologi sudah berlari meninggalkan hal-hal “lawas” semacam itu.
Ini perlu dicatat oleh pemerintahan Jokowi, sebelum keluarnya Perpres tentang Media Sustainability.
Jangan hanya, media yang sudah terverifikasi di Dewan pers yang diutungkan saja, tapi harusnya iklim media massa keseluruhan.
Media massa baik digital atau yang cetak belum diverifikasi Dewan Pers, banyak yang menerapkan kode etik jurnalistik dengan baik. Mereka sudah layak disebut pers.
Idealnya, tugas pers mengembangkan visi dan misi yang futuristik. Melampaui jaman kekinian, memang tak mudah.
Bukan hanya tampilan dan model jurnalisme, cara bertahan mencari pemasukan untuk menyeimbangkan pengeluaran, yang terlanjur besar juga merupakan tantangan tersendiri.
Media massa melakukan strategi reposisi merek, distribusi, promosi termasuk sumber daya manusia yang disebut profesional. Realitasnya, bisnis model media di revolusi teknologi, justru ter-disrupsi dalam pemasukan pendapatan.
Semua Terjadi Dengan Kecepatan dan Kompleksitas.
Teknologi 4.0 telah mengubah manusia dalam mengkonsumsi media. Jutaan berita dan informasi masuk ke medsos, menyebar dari satu grup ke grup media lain. Tim buzzer media, yang lebih menikmati untung saat ini.
Jurnalis media digital bukan pintar di dunia jurnalistik saja, tapi harus belajar dari “misteri” SEO (Search Engine Optimization), kata kunci, hastag, dan lain-lain, agar tulisannya di-klik banyak orang.
Tulisan tersebut di posting ke grup-grup media sosial yang punya fans, banyak anggotanya. Pasalnya, ponsel pintar memberikan kenyamanan dalam melihat berita, serba gratis pula.
Di tengah banjir informasi, media massa mainstream (cetak) menjadi clearing house — tempat orang mengecek informasi benar. Dimana, media cetak masih diminati karena lebih humanis, mendalam, kadang dijadikan sebagai souvenir dan dibaca kaum elit (premium). Apalagi investigasinya seru!
Apa lacur, banyak pemasang iklan bisnis, malah mengalihkan belanja iklannya ke medsos, bukan ke media digital. Padahal, media massa sudah woro-woro ikut memasuki konvergensi media.
Vlog hingga channel di TV digital dengan server pinjam atau titip ke Youtube, lebih diminati. Pemirsanya, kalau dengan tim buzzer bisa memiliki pemirsa hingga jutaan.
Seorang pakar humas mencatat, ada Youtubers, yang satu miliar video views per harinya. Ada empat juta foto per jam yang diunggah di Instagram.
Facebook menyebutkan setidaknya ada tiga miliar likes & comment yang mereka dapatkan setiap harinya dan 15 juta foto yang di-upload per jam. Arus informasim mengalir sangat deras. Facebook malah panen iklan, demikian Google.
Sekarang, publik adalah media! Dan kita, adalah jurnalis.
Bisa diartikan, masyarakat kita lebih sibuk dengan akun media sosial ketimbang menaruh perhatian pada media mainstream yang menawarkan trust dan kredibilitas.
Eng-ing-eng. Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) pernah melakukan survei internal, terhadap para pemimpin media.
Hasilnya menunjukkan, bahwa yang dianggap ancaman, bukan lagi sesama media massa, tapi kekuatan platform semacam Google, Youtube atau Facebook yang menyedot potensi belanja iklan.
Di tengah banyak media massa kesulitan membayar kesejahteraan SDM-nya dengan layak, aplikasi digital memudahkan setiap orang memiliki media massa sendiri. Perusahaan yang paling cerdas akan menggabungkan data dan algoritma dengan konten hebat.
Ekosistem industri pers memang sudah seharusnya terus ditata, baik dari sisi finansial maupun kontennya. Oleh karena itu, para pelaku di industri ini harus mampu memperbaiki segala kelemahan dan terus berinovasi./*