Harianbekasi.com, Jakarta – Keadilan hukum menjadi topik yang terus memancing perhatian publik, terutama ketika terjadi kasus yang menyentuh aspek moral dan integritas lembaga hukum. Salah satu contoh mencolok adalah kasus yang melibatkan Ike Farida, seorang pembeli apartemen yang mengalami kriminalisasi oleh pengembang properti nakal, PT Elite Prima Hutama (EPH), anak perusahaan Pakuwon Grup.
Pada Mei 2012, Ike Farida membeli sebuah unit apartemen di Casa Grande Residence, Kota Kasablanka, dari PT EPH. Setelah pembayaran lunas, PT EPH tidak memberikan haknya, malah menahan unit apartemen tersebut dengan alasan Ike Farida bersuamikan warga negara asing (WNA). Sebagai seorang advokat, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia, Ike Farida menempuh jalur hukum dan memenangkan delapan putusan berkekuatan hukum tetap.
Namun, upaya Ike untuk menuntut keadilan tidak berhenti di situ. Setelah memenangkan Putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 53/Pdt/2021, Ike malah dilaporkan oleh Ai Siti Fatimah, legal PT EPH, dengan tuduhan memberikan keterangan palsu dalam persidangan dan pemalsuan akta otentik. Laporan ini diduga sebagai upaya untuk menghindari putusan PK yang memerintahkan PT EPH untuk menyerahkan unit apartemen dan sertifikat hak milik atas satuan rusun (SHMSRS) milik Ike Farida.
Kriminalisasi terhadap Ike Farida berdampak buruk, baik secara moril maupun materil. Hak-hak asasi Ike direnggut, namanya dicemarkan, dan ia sempat dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Berbagai instansi, seperti Dirjen HAM dan Komnas Perempuan, telah memberikan dukungan dan rekomendasi kepada kepolisian untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pada 25 Juli 2024, hasil Gelar Perkara Khusus (GPK) yang diselenggarakan oleh Kabareskrim, Kapolri, dan Karo Wassidik memutuskan bahwa laporan dari PT EPH tidak memiliki dasar hukum. Ike Farida tidak pernah menghadiri persidangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga tuduhan memberikan keterangan palsu tidak terpenuhi. Tuduhan pemalsuan surat juga tidak dapat dibuktikan.
Namun, meskipun sudah ada perintah dari Kapolri, pada malam hari tanggal 26 Juli 2024, belasan oknum Subdit Jatanras Polda Metro Jaya mengepung kantor kuasa hukum Ike Farida tanpa pemberitahuan atau surat resmi. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM dan tindakan ilegal yang mencoreng nama baik institusi Polri.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya integritas dan profesionalisme dalam penegakan hukum. Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum Ike, dengan tegas menyatakan bahwa tindakan oknum polisi tersebut melanggar aturan dan kode etik kepolisian. Ia menyerukan agar Kapolri dan Jaksa Agung segera mengambil tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan pelanggaran ini.
Perjuangan Ike Farida untuk keadilan adalah cermin dari banyaknya kasus ketidakadilan yang dialami rakyat kecil. Hukum harus menjadi pelindung, bukan alat penindasan. Sudah saatnya suara rakyat didengar dan keadilan ditegakkan dengan sungguh-sungguh, tanpa pandang bulu. Hanya dengan demikian, citra kepolisian dan lembaga hukum lainnya dapat kembali bersinar sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. */Iq